Kelelahan Ibu dan Dukungan Kebijakan

Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net

KEHADIRAN pandemi yang mengejutkan, menyebabkan banyak rutinitas kehidupan berubah. Pembatasan kegiatan masyarakat yang di awal masa pandemi dikenal dengan slogan ‘di rumah saja’, menuntut masyarakat beraktivitas di rumah. Ayah bekerja dari rumah, begitu juga ibu serta anak pun belajar di rumah. Kondisi ini menyebabkan banyak aktivitas yang sebelumnya dilakukan di luar rumah menjadi berpindah ke rumah.

Dalam keseharian, sebuah hal yang jamak bahwa ibu adalah pusat segala aktivitas di rumah. Namun ketika terjadi pandemi, ibu mendapat tuntutan lebih banyak untuk bisa memenuhi berbagai macam kebutuhan dan dinamika keluarga. Dari mulai menyiapkan makanan, membersihkan rumah, merawat anggota keluarga yang sakit, mendampingi anak belajar dan sebagainya.

Sebelum pandemi, ibu bisa meminta pihak lain untuk membantu mengerjakan pekerjaan tersebut, misal ada asisten rumah tangga, menitipkan anak ke day care, lingkungan yang juga ikut membantu kesibukan ibu dan sebagainya. Namun di masa pandemi, pekerjaan itu banyak terpusat ke ibu karena adanya social distancing.

Ibu pekerja pun harus memenuhi tuntutan pekerjaan kantor dengan dikerjakan di rumah. Di sisi lain, anak berada di rumah selama 7 hari 24 jam di mana ibu juga harus menyediakan semua kebutuhan mereka, memantau proses belajar yang dilakukan secara daring dan membantu menyelesaikan tugas sekolah.

Dalam hal ini ibu menjalankan peran baru yaitu sebagai guru karena sering terjadi proses pembelajaran daring belum bisa memenuhi pemahaman anak terhadap pelajaran.

Beban berikutnya adalah problem ekonomi di mana terjadinya gelombang PHK dan pengurangan penghasilan, sementara kebutuhan belanja keluarga masih sama, menuntut ibu lebih cermat mengatur keuangan keluarga.

Demikianlah tugas demi tugas harian di masa pandemi mengakibatkan seorang ibu rentan mengalami kelelahan fisik dan emosi. Kondisi ini dikenal dengan istilah mom fatigue yang masuk dalam kategori parental burnout.

Mom fatigue merupakan parental burnout yang spesifik dialami kaum ibu dalam menjalankan perannya sebagai orang tua. Parental burnout adalah sebuah kondisi dimana kelelahan secara fisik dan mental terjadi akibat merasa kewalahan dalam menjalankan peran sebagai orang tua.

Ibu yang mengalami mom fatigue merasakan kelelahan fisik dan mental, gejala fisik seperti peningkatan keluhan psikosomatik dan penurunan kualitas tidur, ada jarak emosional dengan anak-anak dan merasa dirinya tidak kompeten dalam melaksanakan peran sebagai orang tua Mikolajczak, 2018). Bahkan juga muncul perasaan terjebak dalam situasi yang tidak nyaman tanpa jalan keluar (Hubert dan Aujoulat, 2018).  

Mom fatigue memberi efek negatif baik untuk diri ibu, anak maupun pasangan. Kelelahan fisik dan mental akan menimbulkan stres pada ibu. Secara umum, stres dapat menyebabkan penyakit fisik, mental maupun menyebabkan interaksi sosial memburuk. Penyakit fisik seperti gangguan pada pencernaan, ketidakseimbangan hormon, kesulitan tidur dan psikosomatis.

Penyakit mental seperti depresi, agresi terhadap anak atau pasangan, kecenderungan mencari pelarian dari kenyataan bisa memunculkan perilaku kecanduan, kecemasan berlebihan dan juga kecenderungan bunuh diri jika merasa sudah tidak sanggup menanggung beban kehidupan.

Interaksi sosial dengan anak dan pasangan dapat terganggu dengan komunikasi yang agresif, mudah marah, lepas kendali dalam berbicara dan bertindak sehingga anak bisa terabaikan kebutuhan dasar dan pendidikannya serta rentan munculnya konflik baik dengan anak maupun pasangan.

Fenomena mom fatigue ini bisa terjadi di beragam kondisi, di saat banyak tuntutan pekerjaan membutuhkan keberadaan ibu. Seperti ketika hadirnya tambahan anggota keluarga baru di rumah, apakah kelahiran bayi atau orang tua yang tinggal bersama keluarga inti.

Juga terjadi di saat kondisi tidak normal seperti ada anggota keluarga sakit, perubahan kondisi keluarga atau kondisi eksternal yang mempengaruhi keluarga seperti pandemi.

Sebuah platform berjudul Motherly melakukan survei tahunan keempat mengenai State of Motherhood terhadap lebih dari 11.000 perempuan di Amerika pada rentang waktu 1-14 Maret 2021, di mana masa pandemi belum berakhir.

Hasil survei menyatakan, 93 persen ibu sesekali merasakan kelelahan dan angka itu naik 7 poin dari survei tahun lalu. Ada 43persen ibu lebih sering merasa kelelahan, naik dari angka sebelumnya yaitu 35 persen dan ada 16persen yang merasa kelelahan sepanjang waktu, naik dari angka 6 persen.

Kondisi kelelahan itu terjadi karena para ibu merasa tidak mendapat dukungan di rumah. Ada 45 persen ibu menyatakan menjadi pengasuh utama anak-anak dalam rumah tangga sepanjang hari.

Dan 69 persen ibu (62 persen ibu yang bekerja, 90 persen ibu yang tidak bekerja) menyatakan bahwa mereka mencurahkan 5 jam atau lebih sehari untuk tugas anak/rumah tangga, tetapi hanya 13 persen dari pasangan membantu dengan jumlah waktu yang sama. Kebanyakan sekitar 41 persen membantu selama 1-2 jam.

Banyak ibu merasa tidak didukung di rumah dan sebagian besar ibu menyatakan bahwa mereka juga tidak didukung oleh komunitas dan masyarakat. Sebanyak 92 persen ibu merasa masyarakat tidak memahami atau mendukung peran ibu dengan baik.

Ini adalah sentimen yang semakin kuat setiap tahun dari survei yang dilakukan yaitu dari 74 persen pada 2018, 85 persen pada 2019, 89 persen pada 2020, hingga tertinggi tahun 2021. Padahal 68 persen ibu menyatakan membutuhkan lebih banyak dukungan emosional, motivasi dan empati.

Sebanyak 67persen ibu membutuhkan lebih banyak dukungan dalam pengasuhan, di mana mereka membutuhkan bantuan untuk mengawasi dan membesarkan anak-anak. Dan 51 persen ibu menginginkan lebih banyak dukungan berbasis penerimaan dan kepastian. Semua dukungan itu diharapkan diberikan oleh komunitas, masyarakat dan kebijakan pemerintah.

Walaupun survei tersebut dilakukan terhadap para ibu di Amerika, namun masih bisa dicermati ada kesamaan dengan kehidupan para ibu di Indonesia di masa pandemi yang mengharuskan social distancing dan anggota keluarga tinggal di rumah.

Kelelahan pada ibu dan kurangnya daya dukung berpengaruh pada kesehatan fisik dan mental ibu, pengasuhan anak dan keharmonisan hubungan dengan pasangan.

Sisi lain yang perlu dicermati, terus meningkatnya angka perceraian di mana sebagian besar adalah gugat cerai dari istri, menjadi hal yang perlu diperhatikan khusus, apakah juga merupakan dampak dari kelelahan para ibu (mom fatigue). Sehingga tak pelak lagi, hal ini perlu mendapat perhatian dalam upaya pencegahan maupun penanganan baik oleh masyarakat dan kebijakan pemerintah.

Sebagai awal dari proses pencegahan maupun penanganan, faktor penting pertama adalah ibu perlu menumbuhkan perasaan menerima dan melakukan adaptasi terhadap pandemi yang belum bisa dipastikan kapan berakhirnya. Ibu perlu menemukan titik keseimbangan baru dalam menjalankan perannya dalam sebuah kebiasan normal baru dalam konteks pandemi ini, dengan melakukan penyesuaian melalui perubahan-perubahan kecil yang lebih fleksibel.

Upaya pencegahan dapat dilengkapi dengan melakukan dialog bersama pasangan dan meminta bantuannya dalam mengerjakan pekerjaan harian di rumah dan pengasuhan anak, menguatkan kualitas spiritual, menjalin pertemanan sehat dengan lingkungan, berolah raga, melakukan kegiatan yang menyenangkan bersama keluarga, membangun perasaan bahagia dan syukur atas hal-hal kecil dalam keluarga, dan belajar keterampilan parenting maupun hal yang menjadi hobi.

Adapun upaya penanganan ketika ibu mengalami mom fatigue, adalah dengan menyadari kondisi yang dialami berdasarkan tanda-tanda fisik, emosi dan interaksi dengan anak serta pelaksaan pekerjaan ibu sehari-hari. Ibu perlu mengomunikasikan apa yang dialaminya dengan pasangan atau orang lain yang dianggap mampu memberikan solusi terbaik dan mendapatkan dukungan sosial, baik dari pasangan, teman atau keluarga dekat. Ibu juga perlu mengevaluasi stres yang dialami, yaitu dengan mengubah persepsi bahwa berada di rumah bersama anak 24 jam dan melaksanakan tugas tambahan sebagai guru adalah sebuah tantangan atau proses belajar untuk ibu.

Ibu juga dapat menambah pemahaman mengenai keterampilan mendidik anak, memberi waktu untuk diri beristirahat sejenak di sela-sela kesibukan harian, dan juga penting untuk menemukan kembali makna dari peran yang dijalankan dan tujuan serta visi membangun keluarga. Upaya penanganan pastinya akan membutuhkan waktu dan proses, sehingga ibu perlu  menikmati proses dan mengembangkan komitmen menjalankannya.

Tentunya upaya pencegahan dan penanganan tidak bisa dilakukan sendiri oleh para ibu, di mana merekalah yang membutuhkan dukungan dan empati tersebut. Sosok ibu merupakan tulang punggung pembangunan bangsa dan menguatkan ketahanan nasional.

Menyejahterakan ibu menjadi hal penting dalam upaya melahirkan generasi bangsa berkualitas yang tangguh dan beradab. Di sisi lain, perlu ada keseimbangan peran ibu dan peran ayah  dalam proses pengasuhan anak sehingga parental burnout bisa dihindari dan anak pun tumbuh kembang dalam lingkungan yang sehat fisik dan mental. Maka dalam hal ini, perlu peran serta pemerintah mewujudkan kualitas kebijakan, sistem dan lingkungan yang ramah keluarga. 

Penulis ialah Ketua Departemen Kajian Perempuan, Anak dan Keluarga DPP PKS