Kebebasan Pers Terancam, Jurnalis Alami Kekerasan

RMOLBengkulu. Kebebasan pers dan berekspresi di Indonesia masih terancam. Meski era reformasi sudah membawa sejum­lah perubahan, hal itu ternyata tidak menghilangkan ancaman terhadap kebebasan pers dan berekspresi.


RMOLBengkulu. Kebebasan pers dan berekspresi di Indonesia masih terancam. Meski era reformasi sudah membawa sejum­lah perubahan, hal itu ternyata tidak menghilangkan ancaman terhadap kebebasan pers dan berekspresi.

Penegasan ini dinyatakan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Nawawi Bahrudin. Terkait kebebasan pers, ujarnya, reformasi 1998 tidak membawa angin peruba­han dan perlindungan terhadap kerja-kerja pers di Indonesia.

"Meski terdapat UU Pers, namun kelemahan perlindun­gan pers masih terlihat dari banyaknya kekerasan terhadap jurnalis baik itu secara fisik atau non fisik," kata Nawawi.

Dari 2003 sampai akhir 2017, tercatat ada 732 kasus kekerasan kepada jurnalis baik itu fisik maupun non fisik. Belum lagi, masih terdapat pembatasan-pembatasan hak atas infor­masi di Papua. Seperti kasus kekerasan terhadap jurnalis lokal maupun pelarangan peliputan jurnalis asing.

Kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia ju­ga masih menunjukkan masa suram pasca 20 tahun reformasi. Pada 2016, tindak pidana Cyber Crime di Indonesia mengalami peningkatan. Di mana kasus tin­dak pidana penghinaan naik dari 485 kasus pada 2015 menjadi 708 kasus pada 2016.

Pada 2017, ada 49 kasus di­jerat dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Selain itu, terdapat beberapa ketentuan yang digunakan untuk menge­kang kebebasan berpendapat warga Negara. Yaitu pasal-pasal penyebaran ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme, pasal makar yang justru menyasar kepada ekspresi politik, hingga penodaan agama.

Di sisi lain, terdapat ketentuan-ketentuan yang akan mengancam kebebasan sipil dari rancangan undang-undang yang diajukan oleh pemerintah dan DPR. "Salah satu yang paling mengerikan ada­lah RKUHP yang saat ini sedang dibahas," sebut Nawawi.

Pertama, tentang kejahatan ideologi negara yang masih mul­titafsir dan samar. Kedua, men­genai tindak pidana penghinaan terhadap martabat presiden dan wakil presiden.Padahal ini din­yatakan Mahkamah Konstitusi tidak berkekuatan mengikat lagi. Berikutnya, delik penghinaan yang mengalami peningkatan ancaman pidana.

Pengacara LBH Pers, Ade Wahyudin menambahkan, sepa­njang 2017 terdapat 12 kasus tindakan pembubaran acara berkumpul warga negara. "Para pelaku dalam 12 kasus tersebut adalah aparat penegak hukum hingga organisasi kemasyaraka­tan (ormas)," katanya.

Pemenuhan hak atas informasi juga menjadi sorotan. Apalagi sudah ada UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP). "Dalam undang-undang memang telah diatur kategorisasi informasi. Namun pada prakteknya, terjadi kesumiran, bahkan inkonsis­tensi oleh badan publik untuk menyediakan dan memberikan informasi yang masuk kategori informasi publik," terangnya.

Hal tersebut tentu berdampak dalam penghambatan dan bah­kan melanggar proses perlindun­gan hak memperoleh informasi masyarakat. Ade mencontohkan, sengketa informasi dokumen hasil Tim Pencari Fakta Kasus Pembunuhan Munir yang dika­bulkan sidang ajudikasi KIP. KIP menyatakan, dokumen terse­but termasuk informasi publik dan wajib diserahkan kepada masyarakat.

Namun pemerintah berdalih bahwa, tersebut telah hilang se­hingga tidak dapat diserahkan. "Hal tersebut menunjukkan, tin­dakan pemerintah tersebut tidak hanya menghambat pemenuhan hak atas informasi masyarakat tapi juga menghambat upaya penegakan hukum yang men­jadi kepentingan masyarakat," tandasnya. dikutip Kantor Berita Politik RMOL. [ogi]