JK: Data Pangan Salah Sejak 1997

RMOLBengkulu. Beberapa waktu lalu Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan bahwa data pangan keliru sejak 20 tahun yang lalu.


RMOLBengkulu. Beberapa waktu lalu Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan bahwa data pangan keliru sejak 20 tahun yang lalu.

JK, demikian ia akrab disapa juga mengakui bahwa kekeliruan ini jadi polemik panjang karena ia tidak segera mengevaluasi data tersebut saat menjabat sebagai Wapres di era Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu juga, JK mengaku telah memerintahkan seluruh lembaga terkait untuk segera memperbaiki data tersebut.

Sayangnya, ada 15 pelaku industri pertanian yang menamakan diri sebagai Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) tak puas. Seluruh kesalahan data pangan tersebut justru dilimpahkan Pataka ke Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman yang baru menjabat tahun 2014 lalu.

Mengetahui hal tersebut, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Prof. Luthfi Fatah menilai bahwa tudingan Pataka tersebut tidak beralasan dan kurang masuk akal. Ia mengimbau agar asosiasi tersebut kembali memahami tupoksi masing-masing lembaga dan kementerian sebelum memberikan pendapat.

"Kementan itu tupoksinya adalah memproduksi pangan dan harus fokus memenuhi produksi. Kementan tidak punya tanggung jawab secara yuridis dan defacto untuk menyusun data pertanian," ujarnya saat dihubungi, Jumat (23/11).

Terkait data, lanjutnya, Badan Pusat Statistik (BPS) adalah lembaga yang mendapat kewenangan untuk menyediakan kebutuhan data bagi pemerintah dan masyarakat. Bila Kementan diberi tanggung jawab untuk menyediakan data pangannya, maka lembaga dan kementerian lain menurutnya juga harus bertanggung jawab melakukan hal yang sama.

"Jadi jangan sampai salah persepsi supaya tidak diikira sedang ling lung" katanya lagi.

Sikap Patata tersebut menurut Luthfi sangat tendensius. Ia curiga bila asosiasi ini sebenarnya adalah corong para agen mafia pangan yang tidak ingin mendukung upaya meningkatkan kesejahteraan petani.

Sebagai informasi, di era kepemimpinan Amran tercatat 700 perusahaan terkait mafia pangan berhasil dibekukan dan dipolisikan.

"Petisi mereka itu seolah tidak menghargai kinerja petani Indonesia. Khawatirnya mereka ini disusupi oleh oknum semacam itu," ungkapnya dikutip Kantor Berita Politik RMOL.

Para pelaku industri pertanian di antaranya Asosiasi Cabai Indonesia dan Asosiasi Bawang Merah Indonesia menyampaikan keberatan atas pencatutan nama yang dilakukan oleh Pataka.

Secara tegas kedua asosiasi tersebut meminta Pataka untuk segera mencabut pemberitaan yang mencatut nama Asosisasi Agribisnis Cabai Indonesia. Karena menurutnya selama ini organisasi tersebut mendukung penuh program pemerintah terutama dalam hal peningkatan produktivitas dan efisiensi ditingkat petani.

Kami tidak diundang dan tidak hadir. Jadi PATAKA sebaiknya jangan membohongi publik. Kami minta petisi yang mencatut-catut kami untuk dicabut dari berita. Kami dukung kebijakan dan program Kementerian Pertanian yang sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat,” ujar Ketua Asosiasi Cabai Indonesia, Abdul Hamid.

Secara umum, keberhasilan pemerintah dalam meningkatkan produksi melalui penerapan program dan kebijakan pembangunan pertanian yang tepat telah mampu meningkatkan ketersediaan pangan dari produksi dalam negeri secara signifikan. Dampaknya terlihat dari stabilnya harga pangan di tingkat konsumen, sekalipun pada hari hari besar keagamaan maupun tahun baru terutama dalam 2 tahun terakhir.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa inflasi kelompok bahan makanan terus menurun, dari 10,57 persen pada tahun 2014, masing-masing menjadi 4,93 persen pada tahun 2015 dan 5,69 persen pada tahun 2016. Bahkan tahun 2017, selain turun dari 10,5 persen menjadi 1,26 persen, dapat dikatakan dalam sejarah Indonesia baru kali ini inflasi bahan makanan/pangan lebih rendah dari inflasi umum (3,61 persen).

Di sisi lain kesejahtraan petani meningkat. Penurunan ini terjadi karena keberhasilan pemerintah dalam menentukan program-program peningkatan produksi dalam negeri.

Data BPS juga menunjukkan upah nominal harian buruh tani pada Oktober naik sebesar 0,31 persen (Rp 163) dibanding upah buruh tani pada bulan sebelumnya (September 2018), yaitu dari Rp 52.665 menjadi Rp 52.828 per hari.  Pada saat yang sama, upah nominal buruh bangunan juga naik, tapi hanya sebesar 0,0 8persen (Rp 69), yaitu dari Rp 86.648 menjadi Rp 86.717 per hari.  

Di sisi lain, dengan memperhatikan perkembangan indek konsumsi rumah tangga, upah riil buruh tani pada sektor pertanian pada Oktober 2018 sedikit menurun, yaitu 0,04 persen (Rp 15) dibandingkan September 2018, dari 38.205 per hari menjadi Rp 38.190 per hari. Sementara pada saat yang sama upah riil buruh bangunan  mengalami penurunan yang lebih besar, 0,20 persen (Rp 156), yaitu dari Rp 64.774 per hari menjadi Rp 64.618 per hari. Hal tersebut menunjukkan kesejahteraan buruh di sektor pertanian, saat ini lebih baik daripada buruh di sektor bangunan.

Selain mampu meningkatkan produksi, ketepatan pemerintah dalam menentukan program dan kebijakan pembangunan pertanian telah mampu meningkatkan kesejahteraan petani, yang dapat dilihat dari indikator membaiknya Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) dan menurunnya jumlah penduduk miskin di perdesaan.

Pada tahun 2014 nilai NTUP (Pertanian Sempit tanpa Perikanan) hanya sebesar 106,05; dan pada tahun 2b015 dan 2016 berturut-turut meningkat menjadi 107,44 dan 109,83.  Nilai NTUP pada tahun 2017 dan 2018 juga membaik menjadi 110,03 dan 111,77. Jjumlah penduduk miskin di perdesaan juga terus menurun, pada Maret 2015 masih sekitar 14,21 persen(17,94 juta jiwa) dan pada bulan yang sama tahun 2016 dan 2017 turun menjadi 14,11 persen (17,67 juta jiwa) dan 13,93 persen (17,09 juta jiwa).  Demikian juga pada Maret 2018, kembali turun menjadi 13,47 persen (15,81 juta jiwa).

Masih dari data BPS, Indonesia juga tengah mengalami surplus beras hingga 2,85 juta ton. Peningkatan produksi tersebut diikuti juga dengan peningkatan ekspor beberapa komoditas pangan seperti beras konsumsi, bawang merah, daging ayam olahan, jagung, buah tropis, dan sejumlah komoditas perkebunan.

Pada tahun 2017, ekspor pertanian juga tercatat meningkat Rp 441 Triliun atau 24 persen dibandingkan tahun 2016. Pada tahun ini hingga bulan September 2018, nilai ekspor pertanian sudah mencapai Rp 330 triliun.

Upaya pencapaian swasembada jagung juga dilakukan Kementan melalui Upaya Khusus (UPSUS) peningkatan produksi jagung. Tercatat sejak tahun 2016 hingga 2018 angka kumulatif impor jagung yang berhasil dihentikan adalah sebanyak 9,2 juta ton, dengan rincian 2016 menghemat tidak impor 2,2 juta ton, 2017 menghemat tidak impor 3,5 juta ton dan 2018 menghemat tidak  impor 3,5 juta ton. Bahkan tahun 2018 telah dilakukan ekspor 372 ribu ton.

Karena capaian tersebut, Representatif Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) mengapresiasi penghargaan yang diraih Kementerian Pertanian pada ajang Indonesian Awards 2018 sebagai Penjaga Ketahanan Pangan Nasional. FAO juga mengapresiasi keberhasilan Amran dalam memajukan pertanian dalam hal penningkatan produksi dan volume ekspor berbagai komoditas pertanian strategis. [nat]