Islam, Kurban, dan Keadilan Sosial

Ilustrasi/net
Ilustrasi/net

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu Dialah yang terputus. (QS. Al-Kautsar: 1-3)

SALAH satu yang diperintahkan Allah SWT, pada Hari Raya Iduladha adalah berkurban. Berkurban, sebagaimana kita tahu, adalah menyembelih hewan kurban kambing, sapi, unta, kerbau pada tanggal 10, 11, 12 atau 13 Dzulhijjah dengan syarat-syarat tertentu.

Oleh karena menggunakan syarat-syarat tertentu, maka ibadah kurban berbeda dengan aqiqah ataupun sedekah daging biasa meskipun dilakukan dengan cara yang sama: menyembelih hewan ternak.

Perintah berkurban dilakukan setiap tahun. Setiap datang Iduladha, maka saat itu pula, kita diperintahkan untuk berkurban.

Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada amal yang lebih dicintai Allah Swt. pada hari raya kurban, selain amal berupa mengalirkan darah”. (HR. Tirmidzi).

Jumhur ulama mengatakan bahwa ibadah kurban hukumnya sunah muakad. Artinya, bahwa perintah ini tidak ada implikasi dosa jika tidak melakukannya, namun kita sangat dianjurkan untuk melakukan.

Meneladani Ibrahim ketika menyembelih putranya, Ismail, ibadah kurban sejatinya adalah perwujudan kecintaan hamba pada-Nya melebihi apapun di dunia. Ibrahim menunjukkan pada kita bahwa kecintaan pada Tuhan adalah segalanya. Kecintaan pada Tuhan tidak boleh di bawah kecintaan pada anak dan istri, apalagi harta kekayaan.

Sebagaimana maklum, Ibrahim terkenal sebagai seorang Nabi yang kaya raya dengan 1.000 ekor domba, 300 lembu dan 100 ekor unta. Bahkan dalam riwayat lain disebut kekayaan Ibrahim mencapai 12 ribu ternak.

Adalah manusiawi seorang yang hidup di dunia, untuk mencintai apa yang ada di sekelilingnya. Namun, Islam mengajarkan pada kita untuk biasa-biasa saja mencintai dunia. Kecintaan yang berlebihan akan menjadikan manusia, menjadi hamba pada sesuatu yang dicintai, sebagaimna perkataan Ibnu Athailah al-Iskandari dalam Kitab Hikam (tt), “maa ahbabta syaian illa kunta lahu abdan, wa huwa la yuhibbu an takuna ligahiri abdan”. Kau tidak mencintai pada sesuatu, kecuali kau akan menjadi budak (hamba) sesuatu. Sementara, Tuhan tidak ingin kau menjadi hamba selain-Nya.

Kecintaan manusia pada material keduniaaan: pangkat, jabatan, harta, wanita dan hal fana lain adalah godaan penghambaan. Manusia yang mencintai pangkat, akan menjadi budaknya pangkat. Manusia yang mencintai jabatan juga akan menjadi hamba jabatan. Manusia yang mencintai harta akan diperbudak oleh hartanya. Manusia yang mencinta wanita akan menjadi budak wanita.  

Untuk menjadi al-insan al-kamil (manusia yang sempurna), manusia harus memusnahkan ego kecintaan duniawinya diganti dengan kecintaan ilahiyah yang profan dan juga abadi.

Pada sisi lain, kurban merupakan wujud rasa syukur pada Allah Swt. Dalam  al-Qur’an, Allah SWT. berfirman: “Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, agar kamu bersyukur”. (QS. Al-Haj: 36).

Kata kadzalika sakkharnaha lakum la’allakum tasykurun, menunjukkan bahwa hewan-hewan ternak itu telah ditundukkan Tuhan untuk kebutuhan manusia. Bagaimana jika hewan-hewan itu liar dan tidak tunduk, tentu manusia tidak akan mudah menyembelihnya dan juga tidak akan dapat merasakan enaknya daging hewan kurban. Oleh karenanya, kita patut bersyukur atas nikmat Allah SWT dalam berbagai bentuknya, termasuk nikmat merasakan daging hewan kurban.     

Berkurban sejatinya juga itikad untuk berbagi pada orang-orang yang tercecer dari mobilitas sosial. Para fuqara dan masakin adalah sasaran kurban yang semestinya mendapat perhatian lebih di hari raya kurban.

Kurban, oleh karenanya, menjadikan  muslim memiliki empati pada muslim dan manusia yang lain yang kurang mampu, sebagaimana firman Allah SWT. “Fakulu minha wa ath’imul qani’a wal  mu’tar”. Artinya: “Maka makanlah darinya, dan berilah makan pada orang yang tidak minta-minta dan orang yang minta-minta”. (QS al-Haj ayat 35)

Pada spektrum yang luas, distribusi daging kurban telah mempercepat tatanan sosial yang berkeadilan. Dalam al-Qur’an, Allah SWT kembali berfirman: "Kai la yakuna dulatan bainal aghniya minkum. Artinya: "Agar supaya tidak hanya berputar diantara orang kaya saja di antara kamu". (QS. Al-Hasyr: 7).

Fazlurrahman mengkaitkan ayat ini dengan ayat zakat, sehingga tujuan berzakat adalah tiadanya oligarki dalam kehidupan masyarakat, namun distribusi kekayaan terjadi secara adil dan merata ke semua kalangan.

Termasuk harta yang harus dibagi merata adalah binatang ternak yang disembelih di hari raya Kurban. Daging kurbanpun harus disebar secara merata terutama pada mereka yang tidak punya (the haven’t).

Kita dapat membayangkan, jika daging kurban itu tidak dikonsentrasikan di kota, tapi diratakan ke pelosok-pelosok penjuru negeri ini, maka betapa akan cepat terbangun keadilan sosial bagi seluruh manusia Indonesia khususnya dan umat manusia umumnya.

Semoga. 

Penulis adalah Sekretaris Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum PTKIN se-Indonesia