Indonesia Bangsa Multi Minoritas

Aktivis Natalius Pigai/RMOL
Aktivis Natalius Pigai/RMOL

Tulisan ini membunuh politik identitas (Suku) PDIP dan menusuk  panggung sandiwara pemain dawai tua yang membosankan

SETELAH Sekjen Hasto Kristiyanto dan orang PDIP tidak menjawab pertanyaan Saya di Twitter, bahwa “Kalau Hasto bilang Anies politik identitas karena agama Islam, maka saya mau bertanya dan menguji kecerdasan Hasto dan orang PDIP. PDIP selalu mendukung Capres dari Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah, apakah itu bukan politik identitas? Silakan jawab!”.

Menarik ada komen di Twitter PDIP memilih Capres berdasarkan perilaku dan kinerja. Perilaku seperti apa Capres PDIP menyatakan suka nonton bokep tanpa punya perasaan, termasuk perasaan istrinya.

Perilaku seperti apa orang jika di persidangan terungkap nama Capres dalam kasus EKTP, juga kinerja seperti apa ketika Jawa Tengah jadi Provinsi termiskin di Indonesia.

Lebih tepat jika partai pendorong politik identitas itu PDIP, padahal “Ketika orang Papua di Jawa, dia minoritas, seorang Jawa di Bali, dia minoritas”. Persilangan minoritas.

Saya ingin membonsai cakrawala berpikir PDIP agar lebih dewasa dalam berpolitik kekinian bangsa.

Bangsa Indonesia di ambang nadir, titik di mana akal dan naluri penyelenggara negara tersandera.

Negara Indonesia secara faktual telah dibonsai, Presiden sebagai simbol negara ikut merendahkan wibawa negara, turun dari byzantium hanya sekadar memenuhi keinginan kekelompok sipil intoleran, kelompok radikal, ekstrimis, dan eksklusif yang naif dan partikelir suku.

Para penegak hukum mengikuti kemauan elite, hukum tidak menyertai opini publik mengabaikan asas keadilan (fair trial dan due process of law).

Tindak-tanduk pemimpin negeri ini sangat kontras dengan selama ini berkoar-koar tentang adagium Bhinneka Tunggal Ika sebagai salah satu tiang penyangga (pilar) berdirinya negara bangsa Indonesia.

Ironi memang, Pancasila sebagai landas pijak bangsa (norma dasar) mulai terusik, Tuhan mulai dipertentangkan antara sentrum utama kekuasaan dan sumber moral, kemanusiaan terasa tidak adab dan tidak adil, persatuan terkungkung dalam polarisasi SARA.

Permusyawaratan dimonopoli komunitas mayoritas berlindung di dalil dan jargon "One men, One Vote, and One Value" di negeri yang penduduknya tidak seimbang, keadilan yang kontradiktif tanpa disertai distribusi kekuasaan yang merata, (no distribution of justice without distribution of power).

Pertanyaannya, di mana posisi dan keberadaan bagi komunitas minoritas di negeri ini? Apakah harus menjadi budak belian dan babu?

Sungguh disayangkan, ketika sekelompok elite memimpin dengan defile dan berparade menampilkan dengan simbol dan panji-panji kekuatan muncul sebagai monster leviathan ibarat novel Mangunwijaya "Ikan ikan hiu, ido homa". Novel trilogi perjuangan di perairan Ambon dan Laut Banda Naira, budak belian di kekuasaan imperium Belanda.

Negara memiliki kewajiban untuk memastikan adanya jaminan kehidupan dan perlindungan semua warga negara, negara memiliki daya paksa untuk taat dan tunduk pada simbol-simbol negara bangsa.

Negara memiliki kewajiban untuk memastikan hukum berjalan tanpa diskriminasi, juga negara memiliki kewajiban untuk mewujudkan kepastian hidup seluruh rakyat secara adil dan merata. Namun Jokowi dan PDIP gagal melaksanakannya.

PDIP mesti tahu bawah bangsa ini tidak pernah diperjuangkan oleh satu suku, satu agama. Laksamana Malahayati berjuang di Aceh, Sisingamangaraja di tanah Batak, Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah, Hasanudin di Makassar, Pattimura di Ambon.

Demikian pula ada 7 pahlawan keturunan China, ada Baswedan dari keturunan Arab, pahlawan beragama Katolik dari Jawa Tengah, Slamet Riyadi, Adi Sutjipto, Adi Sumarmo, Yos Sudarso, I.J. Kasimo dan lain-lain, yang merintis kemerdekaan ini semua suku bangsa dan agama.

Mereka ini keturunan rakyat jelata, bukan darah biru, raja-raja di nusantara juga tidak pernah berjuang kemerdekaan Indonesia, mereka hanya sebagai pemungut cukai, kaki tangan dan anak emas kolonial.

Dalam sejarah kolonial, hanya 1 orang raja yg dieksekusi mati oleh Belanda, yaitu Raja Ende Lio di Flores, Wangge dieksekusi di Kupang, namun hari ini kesultanan Yogya, dan Kasunanan Solo dan Darah Biru di Jawa mengklaim negeri ini milik mereka, omong kosong!

Indonesia 77 tahun bagi sebuah negara seharusnya sudah cukup untuk bisa membangun negara bangsa (character and nation building).

Kalau pemimpin negeri ini, Presiden, MPR, DPR dan pengelola negara tidak mampu memastikan adanya jaminan kehidupan dan eksistensi politik komunitas minoritas dengan berpedoman pada simbol-simbol negara bangsa yang ada saat ini, maka saya mengusulkan PDIP dibubarkan.

Saya mengusulkan bangunan dasar negara disesuaikan kondisi kekinian bangsa:

1. Pancasila tidak mesti dijadikan sebagai asas tunggal karena semua komunitas bangsa ini memiliki asas yang berbeda-beda, ada yang berasas agama, ada yang berasas budaya, ada yang berasas kepribadian suku dan bangsa di nusantara.

Sudah saatnya membuka wacana (diskursus) Tuhan sebagai sumber kekuasaan atau sumber moral adalah hal yang mudah diperbincangkan agar termasuk tuntutan akan adanya piagam Jakarta dan juga piagam Madina.

Kemanusiaan yang adil dan beradab, istilah "adil dan beradab" itu kata kerja bukan kata sifat sehingga tidak tepat dimasukan sebagai falsafah hidup (filosofische grondslagen).

Persatuan Indonesia tercerai berai dalam sektarianisme dan etnisitas, adalah fakta sosial yang tidak bisa ditutupi atau disembunyikan bahwa ada islamophobia, Kristen phobia, Papua phobia, Jawa phobia, Bali phobia sudah mulai tumbuh kembang dan menjamur di mana-mana.

Persoalan permusyawaratan, sistem pemilu sekarang proporsional terbuka adalah sistem winners takes all, pemenang ambil semua, tidak tepat karena adanya fakta bangsa kita persebaran penduduk yang tidak seimbang.

Jawa masih dominan dari suku lain, maka bukan tidak mungkin presiden melalui pemilihan dan juga legislatif pasti didominasi oleh mayoritas di negeri ini, ini yang namanya kekuasaan berpusat pada satu suku yang cenderung di-drive oleh PDIP.

Problem saat ini kurangnya distribusi kekuasaan (distribution of power) yang berdampak pada distribusi keadilan (distribution of justice), maka ada benarnya jika keadilan hanya berpusat pada sekelompok oligarki politik juga ekonomi pada PDIP dan kelompok pemenangnya.

2. NKRI. NKRI itu hanya sebuah bentuk bangunan negara bangsa, bentuk negara ini sama dan ibarat nomenklatur yang termasuk bangunan sosial, bangunan sosial bersifat dinamis bukan statis dan kaku, sebagaimana sistem sosial yang selalu berubah, NKRI itu juga bisa berubah, sangat ironis seluruh dunia negara kesatuan itu dibentuk jika; luas wilayahnya kecil, negara kontinental (daratan), penduduknya homogen, kekuasaan terpusat.

Kalau bangsa kita jelas bahwa wilayah negara ini terlalu luas, negara maritim, penduduk heterogen, dan pemerintahan demokratis, inilah yang namanya contradictio in terminis.

Sudah saatnya kita harus formulasi ulang tentang NKRI dengan bentuk negara federasi atau serikat. Bangsa Aceh bisa mengatur dan mengurus diri sendiri, Sumatera Utara, Kalimantan, Sulawesi dan Bali, NTT dan lain-lain.

3. UUD 1945. Sebagai landasan konstitusional tidak dapat diterapkan dan tidak relevan lagi dengan kondisi kekinian bangsa Indonesia. Kalau kita cermati sebagai landasan konstitusional tidak mampu menjadi pijakan para pembuat undang-undang, berbagai pasal di batang tubuh yang bertentangan dengan berbagai peraturan perundangan yang dihasilkan saat ini.

Selain adanya gugatan sekelompok orang yang dituduh makar yang ingin agar kata "asli" dihidupkan kembali juga adanya undang-undang yang bertentangan, misalnya hukuman mati, sesuai dengan Pasal 28 huruf i UUD 1945 menyatakan pengakuan hak hidup namun dalam UU KUHP masih menerapkan hukuman mati, demikian pula UUD juga tidak statis, kita memiliki pengalaman amandemen UUD 1945.

Sudah saatnya UUD 1945 dilakukan perubahan secara radikal untuk mengakomodir agar adanya kepastian kepentingan golongan minoritas dalam eksistensi republik ini. Seperti presiden bergilir atau Wapres 2 orang.

4. Bhinneka Tunggal Ika, ini hanya dimaknai secara simbolik tetapi tidak substansial, pengakuan keanekaan secara simbolik tidak disertai dengan kebijakan yang berbhinneka, ketika presiden menunjuk menteri 28 orang dari 34 di antara berasal dari 1 suku, yaitu Jawa, maka sejatinya tidak melaksanakan atau mewujudkan bangsa pelangi atau Bhinneka.

Bhinneka adalah bangsa pelangi karena itu tidak tepat kalau disebut Ika atau Tunggul, pengakuan secara faktual bahwa kita berbangsa multietnik dan multiminoritas adalah sesuatu ada (being).

Kenyataan hari ini menyaksikan bangunan kebhinnekaan bangsa rapuh bahkan nyaris runtuh, saatnya mesti belajar mengakui adanya fakta bangsa ini memang berbeda-beda.

Semua riuh rendah dan riak-riak di bangsa ini tidak jatuh dari langit, ada akar historisnya dan ironisnya persoalan-persoalan ini muncul ketika bangsa ini memilih seorang kepala negara yang orang baik dan lemah namun disuruh mengelola negara besar yang diliputi kompleksitas persoalan.

Ini juga buah dari sistem pemilih berbasis penduduk yang tidak relevan, one men, one vote dan one value, yang menempatkan seorang tukang bisa saja bisa menjadi presiden karena suara mereka mayoritas.

Jangan heran juga jika kita telah melihat seorang walikota muncul bak meteor bisa menjadi presiden karena suara dari mayoritas. Kita juga akan menyaksikan terus panggung sandiwara politik identitas suku PDIP.

Penulis adalah Kritikus dan Aktivis Kemanusiaan