Homo Politicus

Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof Al Makin/RMOL
Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof Al Makin/RMOL

SAYA tidak setuju, dan bagi saya tidak tepat, makna “homo politicus” adalah kecurigaan kita pada para pemimpin politik. Tidak. Saya merasa tidaklah adil memberi arti “homo politicus” dikaitkan dengan gagasan Niccolo Machievelli (1469-1527) atau Thomas Hobbes (1588-1679).

Bukan begitu. Tidaklah benar para politisi kita itu mesti curang, memanipulasi janji, sengaja mempermainkan massa, tidak bisa dipercaya. Ini makna negatif yang merugikan proses demokrasi kita. Ini merugikan perasaan dan pikiran sendiri, mengambangkan syak wasangka dan buruk sangka.

Homo politicus bukan berarti antisipasi Machievelli yang menghalalkan segala cara demi kekuasaan. Analisis Machievelli pun sering disalahfahami. Karya Machievelli berjudul Il Principe, dalam bahasa inggrisnya the prince, atau para penguasa, itu bukan buku petunjuk tentang mempertahankan kekuasaan semata dengna cara-cara culas.

Interpretasi Thomas Hobbes dengan nada miring “homo homini lupus est” yang sering disederhanakan menjadi manusia adalah serigala bagi  manusia, atau manusia makan manusia, bukan interpretasi yang tepat bagi homo politicus. Delapan puluh tahun yang lalu Sukarno sering mengutipnya.

Homo politicus, yang makna harfiahnya adalah manusia itu berpolitik, sama dengan manusia itu bijak (homo sapiens), atau manusia itu bermain (homo luden). Homo politicus tidak menyindir satu golongan, atau kelas tertentu dalam masyarakat.

Homo politicus adalah ungkapan untuk makna umum bagi semua manusia. Jadi kita semua, segala ras dan etnis, agamanya apapun juga, pilihan politiknya apa saja, dan jenis hobinya segala kesenangan, adalah manusia politik.

Semua manusia itu berpolitik. Semua manusia sedang  bermain politik. Yang di kantor, di warung makan, di tenda, di café mewah, di angkringan murah, semua lihai berpolitik. Berpolitik bukan berarti politisi atau pemimpin politik.

Berpolitik bukan berarti semata-mata milik calon presiden, anggota dewan, perwakilan rakyat, calon kepala daerah, dan mereka yang sedang berkontestasi dalam politik formal. Berpolitik adalah milik semua orang dan ciri khas semua manusia.

Tentu pemimpin partai politik itu berpolitik, begitu juga para eksekutif, legislatif, gubernur, bupati, atau team sukses para kandidat. Semua berpolitik, itulah profesi mereka. Tetapi kita semua para rakyat, yang tidak mempunyai jabatan politik, tidak pengurus partai, bukan tim sukses, tidak pendukung aktif calon tertentu pada 2024 juga berpolitik.

Homo politicus artinya semua manusia berpolitik. Itu adalah watak dasar alami manusia itu berpolitik, yang kurang lebih kita selalu bernegosiasi untuk memposisikan diri sendiri dalam lingkungan besar seperti konteks nasional atau lingkungan kecil dalam usaha bisnis kita masing-masing: di kantor, toko, pasar, parkiran, atau jalan raya.

Kita semua adalah politisi. Semua manusia adalah politisi. Itu sudah lama, dua ribu lima ratus tahun yang lalu, Socrates yang akhirnya di kutip dan dikembangkan oleh muridnya Plato aktif memberi wejangan bagi para muridnya.

Socrates mengajarkan politik yang bermoral bagi anak muda melalui dialog. Socrates bertanya dan mengajarkan bagaimana cara bertanya tentang benar dan tidaknya cara berpolitik bagi rakyat dan bagaimana memilih, dan bersikap pada pemimpin. Socrates-lah yang mempunyai gagasan hak-hak warga sipil tanpa pangkat, tanpa jabatan, dan tanpa otoritas untuk berpolitik dengan baik. Socrates juga yang mengajarkan sikap kritis pada pemimpin dalam alam terbuka demokrasi.

Plato yang menulisnya, dalam buku yang terkenal diterjemahkan dalam semua bahasa dunia, Politea, atau Republik yang menjadi nama negara di seluruh dunia. Demokrasi kemudian bertahan tidak hanya di Yunani, tetapi juga di Republik Romawi, kekhalifahan Islam awal di Madinah dengan tiga empat khalifahnya.

Demokrasi dan republik masa kuno dan klasik usianya sebentar, karena dialog antara warga dan pemimpin terlalu sulit. Zaman itu, yaitu kira-kira sebelum era kemerdekaan bangsa-bangsa di dunia, tidak setuju berarti perang dan angkat senjata. Tidak ada diskusi terlalu lama.

Yunani, Romawi, dinasti Abbasiyah, Ummayyah, Majapahit, Demak semua penuh dengan perang sebagai tanda pertikaian karena awal mulanya berselisih pendapat. Itulah pentingnya dalam era modern dan pasca-modern ini berpolitik untuk semua warga, homo politicus.

Politik tidak semata-mata hak pemimpin partai, presiden dan wakil presiden, anggota Dewan, anggota parlemen, bupati atau gubernur. Politik untuk semua dan dilakukan oleh semua warga  negara. Itulah makna homo politicus, secara positif dan wajar.

Beberapa penulis opini di koran Indonesia menuliskan homo politicus dengan mengorek keculasan dan hilangnya integritas para pemimpin politik di Amerika, Eropa, dan Indonesia. Tidak begitu, homo politicus tidaklah tepat diartikan sebagai makna pejoratif seperti itu.

Tidaklah terlalu bermanfaat menghitung kesalahan-kesalahan orang lain, atau bahkan pemimpin kita tanpa kita sadari bahwa itu sesungguhnya hanyalah ketakutan-ketakutan atau kekhawatiran-kekhawatiran kita sendiri. Jangan-jangan kita sendiri, rakyat ini, juga tidak jujur, tidak apa adanya, tidak mentaati aturan-aturan, dan tidak mengikuti hati nurani. Kita jangan-jangan juga berpolitik tidak baik dan tidak lurus.

Homo politicus artinya kita berpolitik. Sesuai anjuran para waskita, Socrates, Plato, dan para pemikir setelahnya, berpolitiklah dengan integritas dan kebijakan: tidak ditujukan hanya para politisi, tetapi semua warga negara dan pemimpin sekaligus. 

Penulis adalah Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.