Hantu Pilpres di Antara Uban Ganjar dan Sepatu Anies

Anies Baswedan-Ganjar Pranowo/Net
Anies Baswedan-Ganjar Pranowo/Net

DUA tokoh beken, Ganjar Pranowo dan Anies Rasyid Baswedan. Keduanya, putra terbaik yang menjadi bahan perbincangan publik terheboh di jagad maya.

Apa pun terkait dengan Gubernur Jateng dan mantan Gubernur DKI Jakarta selalu menarik diobrolkan. Termasuk soal uban dan sepatunya.

Uban Ganjar

Uban itu warna rambut yang mengalami perubahan, lantaran usia dan produksi Melanin di tubuh yang berkurang. Rata-rata warga Indonesia berambut hitam. Rambut mulai memutih saat usia 40 tahun ke atas. Bisa juga, usia di bawah tersebut, karena faktor genetik dan stres yang mengganggu metabolisme tubuh.

Ganjar selalu menjawab bahwa rambut putihnya asli. Ia selalu berseloroh, rambut peraknya bisa seperti sekarang ini menunggu waktu 30 tahun. Ia lebih senang membiarkan rambutnya apa adanya. Tak ada keinginan untuk dirubah atau disemir hitam biar kelihatan tampak lebih muda.

Teranyar, uban Ganjar jadi kriteria pemimpin yang berfikir soal rakyat. Presiden Jokowi memberi kode untuk memilih calon presiden yang wajahnya berkerut dan rambut putih. Publik menduga, pernyataan presiden ke-7 pada acara Gerakan Nusantara Bersatu di Gelora Bung Karno (GBK), Sabtu, 26 November 2022), ditujukan kepada Ganjar.

Akan tetapi, Ganjar justru mengunggah model rambutnya yang hitam kinclong di akun Instagram pribadinya. Ini seolah menepis, bahwa ia bukan orang yang dimaksud oleh Jokowi.

Kritik keras juga dilancarkan oleh Sekjen PDIP, Hasto Kristanto, bahwa para relawan Jokowi telah merusak prestasi presiden asal Banteng, lantaran mereka ingin mengambil semua kekuasaan dan terdiri dari kelompok Asal Bapak Senang (ABS).

Memang, Uban Ganjar bagian dari fashion yang merupakan ciri khas berdasarkan karakter pribadi dan gaya rambut yang disukainya. Uban bukan tanda banyak berfikir keras tentang rakyat.

Sepatu Anies

Sementara itu, sepatu Anies adalah alas kaki yang berfungsi untuk menutupi dan melindungi telapak kaki, jari jemari, punggung kaki dan tumit dari kotoran, baik debu, kerikil, lumpur maupun puing.

Menurut Anies, memilih pemimpin itu seperti menyemir sepatu. Bila sepatu dipakai seharian penuh, maka bila besok mau dipakai lagi, haruslah dibersihkan. Bila politik itu kotor, maka pilih pemimpin yang bersih. Sebab, profesi apapun itu bisa bersih dan bisa pula kotor. Semua bergantung pada orangnya.

Anies menawarkan rekam jejak dalam memilih pemimpin. Bukan visi, misi dan program yang bisa dikarang dan dibuatkan orang. Ia sangat percaya diri jejak kakinya dalam pembangunan Jakarta selama 5 tahun di atas jalan yang benar.

Kendati tawaran rekam jejak, tak perlu dilambangkan dengan Monumen Sapatu, seperti di Stasiun BNI City Taman Dukuh Atas, Lapangan Banteng, dan Alun-Alun Velodrome.

Monumen sepatu raksasa tersebut menjadi sasaran vandalisme dan kritik pedas terhadap pemerintah Anies. Walau, bangunan itu sekadar penanda dukungan terhadap ekonomi kreatif yang sedang berjalan di Ibu Kota Negara pada masa Pandemi Covid-19.

Anies juga dengan bangga menunjuk rekam jejak prestasi sepatu roda sebagai juara umum PON Ke-20 Papua, dengan memamerkan Jakarta International Roller Track Arena (JIRTA) Sunter. Pada PON tersebut, cabang olah raga sepatu roda ini memperoleh banyak medali. Di antaranya: 13 emas, 8 perak dan 2 perunggu.

Memang nyata, sepatu Anies bukan sekadar fashion, tapi alas kerja untuk membangun Jakarta. Ia sempat terpelosok ke got pada saat meninjau vaksinasi Covid-19 di Keluruhan Koja, Jakarta Utara, pada Sabtu, 11 September 2021.

Hantu Menakutkan

Uban Ganjar dan sepatu Anies seperti menggambarkan sekujur tubuh manusia. Kepala dan kaki adalah satu kesatuan. Bila manusia hanya terdiri dari kepala, jelas itu hantu gentayangan. Sebaliknya, bila manusia hanya terdiri dari kaki saja, jelas itu hantu bergelantungan.

Surya Paloh semula menginginkan Ganjar dan Anies menjadi satu pasangan calon presiden untuk mengakhiri polarisasi yang membelah bangsa dalam dua kubu yang berhadap-hadapan secara diametral dari pilpres ke pilpres.

Namun, rupanya kedua gubernur ini nyaris tak mungkin dipersatukan. Para penyokong masing-masing calon presiden potensial tersebut telah menjadi "hantu" yang menakutkan satu sama lain.

Bila salah mengelola persaingan politik pada Pilpres 2024, bisa-bisa menjerumuskan bangsa pada konflik horisontal. Perang urat saraf telah berlangsung terbuka dengan berbagai pernyataan provokatif. Seolah-olah, masing-masing pihak ingin "perang terbuka" di lapangan.

Permohonan ijin Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Benny Rhamdani, kepada Jokowi ingin bertempur di lapangan dengan kelompok anti pemerintah, telah memancing kewaspadaan penuh kelompok yang berseberangan dengan rezim.

Konstalasi politik nasional jelang perubahan tahun baru, seperti api dalam sekam. Semua pihak harus cooling down. Bila para pihak yang berseteru tak bisa menahan diri, Indonesia bisa terjerumus pada perang sipil yang meluluh-lantahkan negeri ini.

Ingat kata Sunan Kalijogo, "Ngeluruk tanpo bolo. Menang tanpa ngasorake. Sakti tanpo aji-aji. Sugih tanpo bondho

(Berjuang tanpa balatentara, Menang tanpa merendahkan lawan. Sakti tanpa kekuatan mantra, Kaya tanpa mengandalkan modal).

Pemilu yang jujur dan adil merupakan ajang pertempuran yang demokratis dan konstitusional bagi para pihak yang ingin merebut kekuasaan. Ini adalah solusi politik berkeadaaban untuk menghindari kekerasan dan pertumpahan darah antar anak bangsa. Amien!!!. 

Penulis adalah Pendiri Eksan Institute