- Promo Istimewa Menginap Di Jaringan Hotel Santika Selama Ramadhan
- Siap-siap Pabrik Kelapa Sawit Di Bengkulu Utara Bakal Disidak
- BEM FH UNIB Dapat Dukungan, Dekan Dan Rektor Dikecam
Baca Juga
Dalam konteks eksekutif pemerintahan barat, groupthink sering terjadi karena kelompok-kelompok ini cenderung homogen dan tertutup, menjadikan mereka lebih rentan terhadap tekanan untuk mencapai konsensus tanpa perdebatan yang memadai. Anggota kelompok merasa terikat pada solidaritas, sehingga menghindari konflik yang dapat mengganggu kesatuan.
Namun, fenomena ini juga relevan untuk dikaji dalam konteks yang berbeda, seperti dalam parlemen di negara-negara transisi demokrasi, termasuk Indonesia. Parlemen Indonesia, yang terdiri dari anggota dengan latar belakang politik yang heterogen dan berasal dari berbagai partai politik, secara teori harusnya menawarkan dinamika yang berbeda dibandingkan kelompok eksekutif yang lebih homogen.
Meskipun parlemen Indonesia bersifat lebih terbuka dan plural, seringkali kita melihat keputusan yang diambil tetap kontroversial dan tidak selalu mencerminkan perdebatan mendalam atau evaluasi kritis. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun anggotanya beragam, dinamika groupthink tetap bisa terjadi.
Beberapa faktor yang mungkin menyumbang terhadap fenomena ini di parlemen Indonesia antara lain adalah tekanan politik, kepentingan partai, dan upaya untuk mencapai stabilitas politik.
Misalnya, dalam pengambilan keputusan mengenai undang-undang yang kontroversial, anggota parlemen mungkin merasa tertekan untuk mengikuti garis partai meskipun mereka secara pribadi tidak setuju dengan kebijakan tersebut.
Dalam situasi ini, upaya untuk menjaga kesatuan partai dan stabilitas politik bisa mengalahkan motivasi untuk mempertimbangkan alternatif yang lebih realistis atau menguntungkan bagi masyarakat luas.
Selain itu, komunikasi yang tidak efektif dan kurangnya keterlibatan publik dalam proses legislasi dapat memperburuk situasi. Ketika diskusi hanya terjadi dalam lingkup terbatas tanpa melibatkan berbagai pemangku kepentingan, risiko terjadinya groupthink meningkat.
Untuk mengatasi tantangan ini, penting bagi parlemen di negara transisi demokrasi seperti Indonesia untuk mengadopsi mekanisme yang mendorong keterbukaan, transparansi dan evaluasi kritis dalam proses pengambilan keputusan. Efeknya bisa termasuk peningkatan partisipasi publik, penguatan peran komite independen, serta pelatihan anggota parlemen untuk lebih terbuka terhadap kritik dan ide-ide baru.
Dengan memahami dan mengantisipasi dinamika groupthink, parlemen dapat bekerja menuju pengambilan keputusan yang lebih inklusif dan berbasis pada evaluasi yang mendalam, sehingga menghasilkan kebijakan yang lebih baik dan lebih bermanfaat bagi seluruh masyarakat.
- BEM FH UNIB Dapat Dukungan, Dekan Dan Rektor Dikecam
- Presiden Ingin Wilayah PPKM Level 3 Dan 2 Segerakan Memulai PTM
- Ketua OSIS Berprestasi Segera Dapatkan Beasiswa Gubernur Bengkulu