Eksistensi Pancasila di Mata Gen Z

Pancasila/Net
Pancasila/Net

HARI lahir Pancasila diperingati setiap tanggal 1 Juni. Pada peringatan 1 Juni 2022, tema yang digaungkan oleh pemerintah adalah ‘Bangkit Bersama Membangun Peradaban Dunia’. Pertanyaannya, peradaban dunia seperti apa yang hendak kita bangkitkan melalui Pancasila?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita sejenak mengurai bersama tentang bagaimana Pancasila dulu dan sekarang dimaknai dan dikampanyekan. Pertama, era kepemimpinan presiden soekarno. Narasi tentang implemenasi nilai-nilai Pancasila diwujudkan dengan upaya melawan penjajahan.

Semangat nasionalisme warga didorong kuat untuk mengusir Belanda yang masih berusaha merebut wilayah Indonesia pasca kemerdekaan dideklarasikan. Pancasila dimaknai sebagai perlawanan terhadap pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), Republik Maluku Selatan (RMS), Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta), Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), DI/TII, hingga  PKI Madiun 1948 dan G30S PKI.

Kedua, era presiden Soeharto, kampanye Pancasila dilakukan dengan Program Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila (P4). Pancasila dimaknai sebagai simbol perlawanan terhadap komunisme.

Ketiga, era reformasi, presiden BJ Habibie membuat UU 9/1998 tentang Kebebasan Berpendapat di Muka Umum. Pancasila dimaknai sebagai ideologi yang bisa diinterpretasikan sesuai perkembangan zaman.

Sekarang, melalui Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), pemerintah mengamanatkan supaya Pancasila mampu terus eksis di tengah isu dan tantangan modernitas, apalagi pesatnya teknologi digital. Maka BPIP membuat akun media sosial sebagai jawaban.

Era digital membuat warga negara punya opsi yang terbuka untuk mengenal ideologi-ideologi di luar Pancasila. Apabila pemerintah punya perhatian untuk memetakan perbincangan di media sosial, bisa jadi akan menemukan fakta bahwa arus informasi mengenai ideologi Pancasila tak sebanyak perbincangan mengenai semangat keberagamaan ekslusif, euforia idola K-Pop, dan perbincangan tentang liberalism.

Walaupun secara organisasi, pemerintah telah menutup akses bagi siapapun yang bergerak mengkampanyekan ideologi di luar Pancasila. Hadirnya BPIP belum menjawab banyak persoalan mengenai bagaimana Pancasila mampu diterima dan hadir dalam kehidupan sehari-hari generasi muda, atau yang sekarang akrab dikenal sebagai Gen Z.

Gen Z memiliki karakeristik yang menggemari teknologi, fleksibel, lebih cerdas, dan toleran terhadap perbedaan budaya. Masalahnya, materi tentang ideologi Pancasila di media sosial sampai hari ini masih terbatas pada slogan, hastag, dan twibbon.

Fenomena itu semacam gebyar pasar malam, yang tak bertahan sampai esok hari. Apalagi, pemerintah biasanya memperingatinya dengan upacara bendera yang durasinya satu hingga dua jam saja.

Artinya, upaya untuk melestarikan ideologi Pancasila hanya seperti menabur garam di lautan. Sedangkan, perang ideologi tersebar masif dan ramai diperbincangkan setiap waktu di media sosial.

Apabila metode pengenalan terhadap Pancasila masih saja sebatas slogan “aku Pancasila” maka soal waktu saja, ditinggalkan oleh Gen Z. Mereka butuh penjelasan yang rasional, kenapa Pancasila harus hadir dalam kehidupan mereka yang berubah secepat kilat. Apalagi fenomena obrolan dari para konten kreator di media sosial yang hidupnya penuh dengan flexing dan terlalu menjunjung faham liberalisme, tentu sebuah ancaman.

Apalagi ada ajakan tak perlu berbakti ke orangtua, karena seorang anak berhak hidup mandiri dan tidak menjadi generasi yang harus menanggung beban finansial keluarga. Banyak dari Gen Z sekarang menghabiskan waktu untuk menonton, membagikan, bahkan membeli produk-produk yang berafiliasi pada idola mereka di Korea.

Lalu di mana posisi Pancasila bagi Gen Z?

Jawabannya adalah Pancasila tidak sepatutnya lagi tersebar hanya dengan slogan. Gen Z sudah harus memaknai Pancasila sebagai ideologi terbuka, dan sejatinya memang begitu. Memulai obrolan tentang Pancasila terkait dengan berbagai topik.

Pertama, Gen Z tidak perlu ragu untuk membagikan konten-konten religi, karena itu adalah implementasi nilai Pancasila pada sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Tinggal bagaimana mereka dididik untuk menyadari bahwa ada beberapa hal yang tidak bisa menjadi konsumsi publik.

Keaktifan Gen Z dalam membagikan konten yang menghargai keragaman agama di media sosial perlu diapresiasi sebagai bukti bahwa mereka mengampanyekan Pancasila.

Nilai-nilai penghargaan dan toleransi kehidupan beragama lebih mudah diinternalisasi oleh Gen Z. Sudah waktunya Gen Z berhenti mengikuti pola generasi yang masih sibuk gebyar Pancasila yang seremonial.

Gen Z yang diwakili mahasiswa Universitas Bangka Belitung bahkan menjadikan Pancasila relevan dengan berbagai isu terkini. Misalnya, mereka membuat konten-konten di media sosial mengenai antisipasi krisis perubahan iklim.

Pancasila diajak berkelana lebih jauh dari sebatas nilai persatuan sesama anak bangsa, melainkan persatuan anak bangsa dengan bumi pertiwi. Keberlangsungan hidup anak bangsa dan bumi pertiwi adalah upaya penting yang harus terus disadarkan ke publik.

Hal ini sudah dicontohkan oleh seorang konten kreator bernama Andrew Kalaweit, Gen Z yang aktif membagikan video di Youtube tentang menjaga hutan Kalimantan dan Sumatera.

Pancasila tak sekadar pemahanan tentang pedoman hidup warga negara. Pembelajaran di kampus tidak lagi sekadar mendoktrin mahasiswa untuk menghafal butir-butir Pancasila, melainkan mengajak mahasiswa mulai bergerak memberi contoh bagaimana segala lini kehidupan Gen Z tidak jauh dari Pancasila.

Terbukti, tugas-tugas yang mereka kerjakan di Universitas Bangka Belitung, Pancasila adalah line up bagi semua bidang ilmu yang mereka pelajari. Mereka mampu menginterpretasikan nilai Pancasila dalam multidisiplin ilmu. Video-video yang mereka sebarkan di media sosial mewakili apa yang biasa mereka akses. Berbagai fitur pendukung dan efek video menjadi pemanis kampanye Pancasila yang tidak monoton.

Gen Z perlu diajak membuktikan diri mampu hadir sebagai generasi yang optimis dan bangga menjadi bagian dari perjalanan ideologi Pancasila. Mereka itu perlu diberi ruang kebebasan berekspresi dan kepercayaan untuk terus melestarikan Pancasila sesuai generasinya.

Bukan waktunya lagi generasi lama hadir untuk membuat Pancasila hanya foto dalam pigura untuk dilihat, melainkan jadikan hamparan ruang dan durasi waktu yang siapa pun berhak berada di dalamnya dan menjadi bagian dari proses keberlanjutannya. Inilah jawaban dari ‘Bangkit Bersama Membangun Peradaban Dunia’.

Penulis adalah Dosen Pendidikan Pancasila Universitas Bangka Belitung