APBN Terus Bermasalah, Ekonom: Beban Rakyat dan Presiden Karena Warisan Utang Makin Besar

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Prof. Didik J. Rachbini/Net
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Prof. Didik J. Rachbini/Net

The Economist Intelligence Unit (EIU) mencatat penurunan demokrasi di Indonesia. Penurunan indeks demokrasi ini secara otomatis berdampak pada penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sebab APBN disusun melalui proses politik yang demokratis.


Cc

Dikatakan ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Prof. Didik J. Rachbini, pada masa pandemi Covid-19 ini kondisi APBN mengalami defisit dan utang terus membengkak.

Terlebih, dengan adanya Perppu Corona yang sudah mejadi UU 2/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 APBN semakin tidak terkontrol karena DPR tidak punya hak pengawasan dan budgeting lagi.

"APBN mengalami masalah berat. Defisit APBN dan defisit primernya berbahaya. Ini akibat demokrasi siluman dan menghasilkan APBN siluman pula," kata Didik dalam acara webinar Forum Gurubesar dan Doktor bersama Indef bertajuk "Ekonomi Politik APBN, Utang dan Pembiayaan Pandemi Covid-19" pada Minggu (1/8).

Menurutnya, jika APBN terus mengalami masalah, maka akan berdampak krisis ekonomi yang amat serius di masa yang akan datang. Apalagi, kondisi pandemi Covid-19 di tanah air masih belum juga teratasi dengan baik.

"Beban bagi rakyat dan presiden yang akan datang karena warisan utangnya semakin besar," demikian Didik seperti dimuat Kantor Berita Politik RMOL.

Turut hadir dalam acara tersebut Gurubesar Ilmu Ekonomi UGM Prof. Mudrajad Kuncoro, mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier, anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PAN Jon Erizal.

Kemudian Dekan Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Brawijaya (UB) Andy Fefta Wijaya, Dekan FEB Universitas Negeri Gorontalo (UNG) M. Amir Arham dan Managing Director of Political Economic and Policy Studies (Peps) Anthony Budiawan.