Anies Baswedan, Kuda Hitam Pilpres 2019?

MESKI masih kurang dua tahun lagi, namun suhu politik menjelang Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 sudah mulai menghangat. Sejumlah nama yang digadang-gadang punya kans sebagai capres ataupun cawapres mulai bermunculan menyesaki ruang-ruang pemberitaan. Tak ketinggalan, rilis survei opini publik terkait capres-cawapres potensial mulai muncul bergantian.


MESKI masih kurang dua tahun lagi, namun suhu politik menjelang Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 sudah mulai menghangat. Sejumlah nama yang digadang-gadang punya kans sebagai capres ataupun cawapres mulai bermunculan menyesaki ruang-ruang pemberitaan. Tak ketinggalan, rilis survei opini publik terkait capres-cawapres potensial mulai muncul bergantian.

Namun yang menarik, dari beragam lembaga yang mengeluarkan hasil siginya, nama Joko Widodo dan Prabowo Subianto masih menduduki di urutan teratas soal elektabilitas. Di titik inilah kemudian banyak orang menyebut Pilpres 2019 merupakan pesta demokrasi kurang menggairahkan lantaran hanya daur ulang kompetisi elektoral 2014.

Tentu pandangan itu bisa saja benar namun juga tidak menuntut kemungkinan salah. Sebab, kata ahli politik Otto von Bismarck (1815-1898), politik adalah seni kemungkinan. Seni politik ibarat berada di tapal batas yang sangat tipis antara kepastian dan ketidakpastian. Dengan rentang waktu dua tahun, maka hal yang diangap tidak mungkin terjadi bisa saja terjadi. Kejutan politik boleh jadi bermunculan. Karena itu, kita mesti jeli melihat kemungkinan-kemungkin yang bakal terjadi.

Anies Baswedan

Salah satu nama yang perlu perhitungkan dalam jagat politik tanah air belakangan adalah Anies Baswedan. Hasil sigi lembaga Indikator Politik Indonesia pimpinan Burhanuddin Muhtadi pada Oktober 2017 lalu menyebutkan, nama Anies Baswedan masuk empat besar calon Presiden sesudah Joko Widodo, Prabowo Subianto dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Sosok Anies menarik diulas lantaran kehadirannya dalam arena Pilkada DKI Jakarta cukup mengejutkan. Muncul dalam survei Poltracking Indonesia pimpinan Hanta Yuda AR, nama Anies kemudian diusung Gerindra dan PKS sebagai cagub. Padahal saat itu, Gerindra dan PKS sudah sepakat mengusung pasangan Sandiaga Uno-Mardani Ali Sera.

Dipilihnya Anies oleh Gerinda dan PKS sebagai calon gubernur DKI Jakarta 2017 tentu bukan tanpa lasan. Selain saat itu elektabilitasnya lebih tinggi--meskipun tipis--dibandingkan Sandiaga Uno, Anies memiliki rekam jejak pengabdian dan rute kepemimpinan relatif panjang.

Sebelum mencebur dalam politik praktis, sebagaimana dikatakan Burhanuddin Muhtadi (2017), Anies merupakan tokoh protagonis yang di dalam dirinya melekat semua atribut yang diidamkan semua orang: mantan aktivis mahasiswa, intelektual muda jebolan Amerika, rektor Universitas Paramadina, dan seabrek peran positif lainnya.

Dalam jagat intelektual, nama Anies pernah booming dan meroket setelah majalah top Amerika Serikat, Foreign Policy (2008), menempatkannya sebagai salah satu dari 100 intelektual publik dunia. Tak hanya itu, tahun 2009, World Economic Forum memasukkan namanya dalam Young Global Leaders.

Sedangkan pada April 2010, Majalah Foresight merilis laporan khusus bertajuk 20 Persons 20 Years dan menempatkan nama intelektual jebolan Amerika itu masuk daftar 20 nama dari seluruh benua yang harus diperhitungkan. Di sini Anies menjadi satu-satunya wakil dari Asia Tenggara yang masuk daftar bergengsi tersebut bersama Vladimir Putin (Russia), David Miliband (UK), Hugo Chávez (Venezuela),dan Rahul Gandhi (India).

Berbekal dengan beragam penghargaan bergensi itulah, Anies punya beragam peran strategis di Indonesia. Pada Pilpres 2009, Anies didaulat menjadi moderator debat capres-cawapres, sebuah acara bergengsi yang ditonton hampir separuh penduduk Indonesia. Tak berhenti di situ, Anies pernah menjadi Tim 9 dalam kasus Cicak versus Buaya, membentuk Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar, dan Gerakan Turun Tangan yang berhasil mengumpulkan sebanyak 35.000 lebih relawan tersebar di Indonesia.

Kiprah Anies tak berhenti di situ. Jelang Pilpres 2014, Anies kembali mengagetkan publik. Ia ikut dalam konvensi capres yang dihelat Partai Demokrat. Gagal maju Pilpres 2014, Anies tak kemudian kehilangan panggung. Ia segera ambil bagian dalam gerbong besar kontestasi dengan merapat ke timses pasangan Jokowi-Jusuf Kalla sebagai juru bicara.

Keputusan Anis berbuah manis. Jokowi-Jusuf Kalla menang Pilpres 2014. Sebagai ganjaran politik, Anies kemudian ditarik menjadi Menteri Pendidikan dan Budaya hingga akhirnya jabatan itu dicukupkan” pada 2016. Tentu jika melihat rekam jejak yang ada, Anies merupakan tokoh dengan pengaman pelangi dan jam terbang yang tinggi. Baik dalam dunia intelektual, gerakan sosial ataupun panggung politik. Pertanyaannya, apakah Anies kuda hitam” Pilpres 2019?

Kuda Hitam?

Istilah kuda hitam (dark horse) dalam sejarahnya mengesankan sifat yang misterius dan serba tidak terduga. Kuda hitam adalah kompetitor yang sepak terjangnya serba gelap dan misterius, namun menyimpan bakat dan potensi luar biasa sehingga potensial menang secara tak terduga. Jika dikaitkan dengan politik, kuda hitam adalah sebutan bagi seorang calon yang tidak diperhitungkan sebelumnya namun tiba-tiba namanya melejit dan di luar dugaan mampu memenangi sebuah kompetisi politik.

Jika dilihat dari pengertian di atas, tentu sosok Anies Baswedan punya peluang” jadi kuda hitam pada Pilpres 2019. Namun peluang itu masih fifty-fifty karena beberapa sebab. Pertama, Anies tersandera dengan janji politiknya yang berkomitmen akan menuntaskan tugas sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ketika melaksanakan tugas menjadi cagub, ini amanat untuk dituntaskan, amanat Pak Prabowo, Sohibul, tuntas lima tahun,” kata Anies saat itu. Jika ia tetap ngotot” maju sebagai capres, maka publik akan menilai bahwa Anies tak ubahnya politisi kebanyakan yang berwatak pragmatis dan gampang melanggar janji politik.

Kedua, Anies tidak memiliki kendaraan politik. Sejumlah partai politik yang dekat dengan Anies sejauh ini adalah Gerindra dan PKS. Namun kedua partai tersebut hingga sekarang masih setia mengusung Prabowo Subianto sebagai capres 2019.  Ini artinya, jika Anies hendak maju, maka ia mesti mencari perahu lain. Tentu ini tidak mudah dan sangat beresiko karena dapat melukai elite politik di Gerinda dan PKS, dua partai yang secara ikhlas mengusungnya dalam kompetisi elektoral di DKI Jakarta 2017 lalu.  

Ketiga, dari sisi elektabilitas, meskipun hasil survei Indikator Politik Indonesia menyebutkan nama Anies bertengger di urutan empat, namun presentasenya masih sangat kecil. Angka Anies Baswedan dalam survei tersebut hanya 2.2%. Begitu pula dalam survei Poltracking Indonesia yang digelar pada 8-15 November 2017 lalu, dalam simulasi 20 kandidat, nama Anies berada di urutan kelima dengan elektabilitas 2.0%. Dalam konteks pilpres, elektabilitas di bawah 5% merupakan elektabilitas yang bisa dibilang tidak menjanjikan. Tanpa kerja politik yang luar biasa, sulit rasanya dalam rentang dua tahun mampu mengejar incumbent.

Keempat, Anies selama ini diasosiasikan sebagai bagian dari Islam kanan. Kemenangan Anies dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu disebut-sebut lantaran efek sentimen politik identitas. Secara politik, asumsi ini bisa saja menguntungkan, namun sebaliknya, bisa saja sangat merugikan. Dengan diasumsikan kuat sebagai bagian dari Islam kanan, figur Anies tidak mampu masuk ke semua segmen pemilih.

Karena itu, jika Anies serius ingin menjadi kuda hitam” dalam Pilpres 2019, maka empat peta di atas mesti benar-benar diperhatikan. Tentu di dalam politik, tidak ada yang tidak mungkin. Kejutan politik boleh jadi muncul dalam Pilpres 2019 mendatang. [***]

Ali Rif’an
Direktur Riset Monitor Indonesia