Angkat Bendera Putih Terdampak Pandemi, Peternak Unggas Mandiri Desak Mentan Mundur

Angkat Bendera Putih Terdampak Pandemi, Peternak Unggas Mandiri Desak Mentan Mundur
Angkat Bendera Putih Terdampak Pandemi, Peternak Unggas Mandiri Desak Mentan Mundur

Dampak perekonomian akibat pandemi Covid-19 yang belum mereda di Indonesia turut dirasakan peternak unggas mandiri.


Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Jawa Tengah, Pardjuni mengatakan, masalah perunggasan di masa pandemi Covid-19 tidak bisa diselesaikan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.

Ia menilai Kementerian Pertanian hanya melakukan penggiringan opini publik dengan menyatakan akan mendukung para peternak unggas mandiri di masa sulit sekarang ini, dengan memastikan supply bisa sesuai dengan harga yang baik. 

Tapi faktanya, Pardjuni mengaku kondisi peternak unggas mandiri sengsara, karena Harga Pokok Produksi (HPP) di Jawa Tengah Rp 18.500 per kilogram, di Jawa Barat Rp 19.500 per kilogram, dan harga jual anak ayam (live bird) pernah menyentuh Rp 8.000 per kilogram bahkan di Rp 6.000 per kilogram. 

"Apa yang menyelesaikan? Ini kan pembohongan. Masalahnya cuma satu, yakni over supply. Ini sudah terjadi sejak 2019. Kemudian 2020 semakin parah karena ada Pandemi," ujar Pardjuni kepada wartawan (29/7).

Karena hal tersebut, Peternak unggas mandiri mendesak Syahrul Yasin Limpo mundur dari jabatan Menteri Pertanian, dan juga Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Nasrullah.

"Sebagai pemangku kebijakan, keduanya dianggap gagal menangani persoalan over supply yang kerap terjadi di dunia perunggasan," imbuh Pardjuni.

Sekjen Pinsar Jawa Timur, Fathoni Mahmudi menambahkan, bentuk kegagalan Kementan dalam menangani persoalan over supply hanya dengan menerbitkan 11 Surat Edaran (SE) tentang pengendalian produksi day old chicken final stock (DOC FS).

"Ini menjadi kontra produktif, karena sebenarnya dari hulu mereka sudah membuat kuota GPS. Tetapi di hilir (DOC FS) mereka selalu melakukan cutting. Lantas buat apa membuat perhitungan kuota GPS kalau terus-terusan melakukan cutting," paparnya.

Secara faktual, Fahoni justru melihat keuntungan besar didapat para breeding (integrator). Karena dengan adanya SE Cutting, integrator langsung menaikkan harga DOC-nya, sementara bagi peternak rakyat HPP terus naik tinggi.

"Pada saat panen ternyata mereka (integrator) punya stock lebih banyak dari kami. Harga live bird-nya hancur terus. Kami ini peternak mandiri rugi," ungkapnya.

Fathoni menjelaskan, Kementan hanya beradalih menerapkan Peraturan Menteri Pertanian 32/2017 tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi yang mengatur pembagian DOC internal dan eksternal (peternak mandiri) masing-masing 50 persen.

"Fakta yang terjadi, berapa pun integrator memproduksi DOC, karena punya integrasi dan afiliasi dibawahnya, integrator tidak perlu jual ke eksternal, karena bisa diserap sendiri," ungkap Fathoni.

"Ke eksternal mereka jual dengan harga mahal. Kalau ini yang disebut dengan pengaturan, apakah mereka sengaja mengatur itu untuk membunuh kami, peternak rakyat? Kalau ada perlindungan maksimal, niscaya peternak rakyat tidak ada yang bangkrut dan terlilit hutang," tambahnya.

Peternak unggas mandiri telah melayangkan gugatan kepada Menteri Pertanian RI (Mentan), Menteri Perdagangan RI (Mendag) dan Presiden RI di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), karena tidak menjalankan kewajiban konstitusinya.

Gugatan dengan nomor 173/6/TF/2021/PTUN-JKT dilayangkan sebagai lanjutan dari tiga kali nota keberatan kepada Tergugat I Mentan pada 15 Maret, 29 Maret dan 20 April 2021. Serta, Tergugat II Mendag pada 28 Mei 2021, dan Tergugat III Presiden RI pada 18 Juni 2021.

Dirjen PKH Nasrullah mengaku telah menjelaskan secara detail dalam pertemuan dengan tim penggugat sebanyak tiga kali. “Dan sebetulnya saat itu juga sudah clear,” ujar Nasrullah (24/7/2021).

Selaku penggugat, peternak unggas mandiri Alvino Antonio mengatakan apa yang disampaikan Dirjen PKH adalah kebohongan publik. Selama mengirimkan tiga kali Nota Keberatan (somasi), Dirjen PKH tidak pernah menemui pihaknya.

"Hanya sekali, itu pun kami diminta menjelaskan isi nota keberatan. Dan itu juga hanya bertemu bawahannya, tidak dengan Dirjen PKH," ujar Alvino.

Alvino menambahkan, pihaknya tetap akan menuntut ganti rugi atas kelalaian Pemerintah dalam menjalankan kewajibannya melindungi peternak unggas mandiri. Karena selama bertahun-tahun peternak mandiri mengalami kerugian.

"Dan makin ke sini semakin parah. Hari ini jumlah peternak mandiri semakin sedikit, karena banyak yang bangkrut dan meninggalkan hutang,” imbuh Alvino.

Di sisi lain, Fathoni dan Pardjuni mengatakan, gugatan Alvino adalah representasi dari peternak unggas mandiri di seluruh Indonesia yang merasa tidak mendapatkan perlindungan dari Pemerintah.

"Pemerintah tidak serius menerapkan dan mengimplementasikan peraturan yang mereka buat sendiri. Sehingga yang terjadi adalah ketimpangan. Pemerintah lebih condong kepada integrator, dengan membiarkan mereka melakukan monopoli yang membuat kami dalam posisi terjepit dan selalu merugi,” tandas Fathoni.