Ada Apa dengan Mahkamah Agung Kita?

Mahkamah Agung Republik Indonesia/Net
Mahkamah Agung Republik Indonesia/Net

PEMBICARAAN kasus di Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) seharusnya terkait kemuliaan lembaga tinggi negara pemegang kekuasaan Kehakiman di Republik Indonesia. Sangat disayangkan yang muncul ke permukaan selalu bersifat negatif, dalam arti terjadi kasus suap Hakim Agung dan bahkan pejabat struktural MA terkait proses penanganan perkara, baik perkara kasasi maupun peninjauan kembali (PK).

Pengamatan penulis di dalam praktik telah terbukti kalimat “in the name of God and justice” telah bergeser dan sangat memalukan menjadi “in the name of Good and friendship”, bahkan fakta tidak terbantahkan telah terjadi “perdagangan perkara” antara oknum penasihat hukum (PH) dan oknum Hakim Agung (HA) melalui staf atau panitera perkara.

Ditengarai awal mula “perdagangan perkara” adalah kebiasaan bertemu muka di lapangan golf antara oknum PH dan oknum HA; kebiasaan yang melanggar etika hakim dan PH untuk tidak bertemu muka disengaja atau tidak dan direncanakan atau tidak. Namun tidak semua pertemuan tersebut memasuki wilayah pelanggaran etika dan norma yang berlaku.

Tampaknya kebiasaan bertemu muka tersebut tidak lagi dipandang pelanggaran etika profesi lagi dan tampaknya tidak ada teguran, baik dari organisasi PH dan pimpinan MA perihal pertemuan tersebut.

Pertemuan tersebut seharusnya diletakkan pada prinsip kepantasan (billijkheid) perilaku. Masalah utama penyebab keadaan sedemikian terpulang pada pengetahuan dan pengalaman, baik sebagai calon advokat maupun calon hakim serta pengalaman praktik setelah menjadi advokat dan hakim.

Di dalam sistem manajemen yang buruk, maka seorang hakim yang baik pun akan tergerus menjadi hakim yang buruk, apalagi tanpa pengetatan sistem pengawasan di dalam manajemen administrasi hukum merupakan faktor internal, juga di kementerian dan lembaga; sedangkan sistem pengawasan tersebut bersifat sentral dan sangat strategis di dalam proses pelaksanaan manajemen administrasi kepegawaian.

Hal ini berbeda dengan profesi advokat yang aktivitasnya diatur dalam UU tersendiri, UU Advokat termasuk kode etik. Kemandirian advokat diterjemahkan: kebebasan untuk berbuat sesuatu tanpa batas sekalipun tidak semua advokat bersikap demikian. Namun sifat ini tidak juga memperoleh perhatian serius dari pimpinan organisasi advokat.

Berbeda dengan sistem manajemen dalam organisasi advokat, di dalam struktur MA sebagai organisasi lembaga tinggi dan satu-satunya kekuasaan kehakiman tertinggi di negri ini, telah dibentuk Inspektorat Pengawasan atau Badan Pengawasan MA setingkat pejabat tinggi eselon 1 dalam struktur birokrasi Aparatur Sipil Negara yang telah diikat dalam UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung.

Faktor lain yang memengaruhi keajegan manajemen administrasi peradilan termasuk administrasi manajemen perkara di mana pada umumnya pencari keadilan (justitiabelen) selalu ingin menang berperkara kadang-kadang sekalipun dengan cara tidak terpuji.

Dalam konteks ini, maka kewajiban advokat untuk menasihati kliennya agar tidak “memaksa” PH menggunakan cara tidak terpuji seperti suap atau gratifikasi. Namun dalam praktik hukum, kejujuran, sekalipun suatu keniscayaan dan terpuji tetapi dipandang sikap bodoh dan disepelekan, terutama dalam kasus di mana klien hanya ingin memenangkan perkara sekalipun dengan jalan tidak terpuji, suap dan gratifikasi.

Pilihan hidup atau mati dalam praktik hukum inilah yang menjadi momok menakutkan advokat menghadapi masa depan kehidupannya sekaligus pemicu kuat untuk melanggar norma dan etika profesi.

Dalam keadaan sedemikian benar juga, apa yang dikatakan ahli hukum terkenal von Jhering, pada akhir abad 19 bahwa hukum itu adalah seni (art), bagaimana memainkan frasa sedemikian sehingga yang seharusnya menang berperkara menjadi kalah atau sebaliknya.

Dalam konteks Indonesia, almarhum Sahetapy pernah berkata bahwa, “ikan tidak akan busuk dari kepalanya”, suatu kiasan menggambarkan betapa seorang pemimpin kuat dan berwibawa akan berpengaruh terhadap bawahannya. Bahkan KUHP sering diplesetkan menjadi “Kasih uang Habis Perkara”.

Dalam konflik kepentingan berhukum, maka satu-satunya dewi penyelamat adalah HAKIM. Karena Hakim dilambangkan sebagai dewi pemegang timbangan keadilan dan penentu siapa yang menang atau yang kalah berperkara.

Namun sangat memprihatinkan lambang Dewi Keadilan dan irah-irah "demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam praktik telah diubah, “demi keadilan dan keuangan Yang Maha Esa”, yang hanya berlaku untuk advokat tertentu dan hakim tertentu saja.

Keadaan yang buruk dalam praktik hukum merupakan fakta telanjang yang terjadi di depan kita sekalian, selama kurang lebih 20 tahun.

Berkaca dari peristiwa tersebut di atas, jelas bahwa masyarakat hukum kita tengah dalam keadaan sakit bukan fisik, tetapi sakit dan merana moralitas. Tidak ada dokter penyembuh dan tidak ada panutan yang patut diandalkan untuk menyelesaikan sakitnya moralitas hukum di Indonesia.

Yang seharusnya dan sepantas ada, sikap batin dan niat baik dari penyelenggara negara di bidang hukum termasuk advokat untuk bersama-sama bergotong-royong dan seia sekata membangun sistem penegakan hukum yang bersih dan berwibawa menuju cita kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di muka hukum (Pasal 28 D ayat 1 UUD 45).

Kekuatan peraturan perundang-undangan telah memadai dan telah lebih dari mencukupi sebagai dasar hukum praktisi hukum berperilaku termasuk hakim.

Perubahan atau pembentukan UU baru dalam hal menjalankan prinsip dan norma kekuasaan kehakiman tidak diperlukan lagi, melainkan sistem pengawasan masih perlu dibenahi terhadap kinerja aparatur hukum, termasuk advokat. 

*Gurubesar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran