2021 Ditutup dengan Munculnya Varian Omicron, 2022 Saatnya Berkaca Soal Distribusi Vaksin

Munculnya varian Omicron bisa menjadi momen untuk melihat ulang masalah pendistribusian vaksin global/Net
Munculnya varian Omicron bisa menjadi momen untuk melihat ulang masalah pendistribusian vaksin global/Net

Varian Omicron ini mengundang sorotan tersendiri karena varian ini diyakini lebih berbahaya dan lebih cepat menyebar daripada varian virus corona lainnya, termasuk varian Delta. Kemunculannya membawa ancaman baru di tengah pandemi yang tidak kunjung usai.

Jika melihat situasi pandemi ini dalam kacamata hubungan internasional, salah satu sudut pandang yang bisa dipakai adalah keamanan manusia atau human security yang merupakan bagian dari kajian keamanan internasional.

Human security merupakan isu yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Karena keamanan negara bukan hanya soal agresi militer, melainkan juga soal keberlangsungan hidup manusia yang hidup di dalamnya. Salah satu bentuk ancaman akan keamanan manusia ini adalah pandemi.

Sejak menjadi pandemi di banyak negara dan wilayah di seluruh dunia, Covid-19 muncul menjadi ancaman baru bagi human security . Situasi itulah yang mendorong banyak negara di dunia menjalin kerjasama dalam upaya merespon ancaman yang ada, seperti salah satunya adalah dengan melakukan diplomasi vaksin.

Namun munculnya varian Omicron pada akhir tahun lalu bisa menjadi refleksi tersendiri, untuk diperbaiki di tahun 2022 ini, terkait dengan sikap negara-negara di dunia dalam bertindak menghadapi pandemi Covid-19. Munculnya varian Omicron ini bisa menjadi momen evaluasi bahwa kerjasama dalam menghadapi ancaman pandemi Covid-19 belum sepenuhnya efektif.

Ketidakefektifan ini disebabkan oleh persebaran vaksin global yang belum merata. Merujuk pada artikel yang dipublikasikan di situs informasi PBB news.un.org, dari 1,2 miliar populasi di Benua Afrika, hanya dua negara yang berhasil melebihi target dari vaksinasi yang ditetapkan oleh PBB, yaitu 40 persen dari seluruh populasi negara.

Sementara itu, merujuk pada kabar terbaru yang dipublikasikan di situs World Economic Forum, weforum.org, hanya 2,5 persen dari 6,4 triliun dosis vaksin yang diterima oleh negara-negara Afrika. Hal ini sedikit banyak berperan dalam munculnya varian baru virus corona, yakni varian Omicron yang pertama kali dideteksi muncul di Afrika Selatan.

Jika mau melihat lebih dalam, menurut data dari situs resmi penanganan Covid-19 di Afrika Selatan, sacoronavirus.co.za, jumlah vaksin yang tersedia di Afrika Selatan pada bulan Desember 2021 lalu adalah 26.917.744 dosis. Sedangkan jumlah penduduk Afrika Selatan yang sudah divaksin adalah sekitar 17.340.265 jiwa dari total penduduk sekitar 60.411.397 jiwa.

Dari jumlah vaksin serta jumlah penduduk yang sudah divaksin menunjukkan bahwa pelaksanaan vaksinasi di Afrika Selatan masih jauh dari efektif. Dengan sedikitnya pesediaan vaksin serta sedikitnya jumlah masyarakat yang divaksin, maka tidak heran jika persebaran Covid-19 masih belum dapat dicegah dengan maksimal, bahkan hingga memicu munculnya mutasi baru dari virus corona.

Dalam masalah persebaran vaksin ini, COVAX bertanggung jawab dalam persebaran vaksin ke berbagai negara. Menurut publikasi vox.com, masalah distribusi vaksin yang terdapat dalam COVAX ini disebabkan oleh tiga faktor, yaitu faktor dana, ketersediaan vaksin, dan bersedianya negara untuk membagikan vaksinnya.

Kurangnya dana untuk pendanaan produksi vaksin serta terbatasnya stok persediaan vaksin tentu bisa memengaruhi distribusi vaksin ke negara-negara yang membutuhkan. Namun hal yang paling memengaruhi dalam persebaran vaksin ini adalah kemauan suatu negara dalam membagikan stok vaksinnya kepada negara lain.

Dengan berkaca dari kondisi vaksinasi di Afrika Selatan, kemunculan varian terbaru, serta masalah dalam COVAX, kita dapat melihat bahwa kerjasama dunia untuk perang melawan Covid-19 masih belum maksimal. Persebaran vaksin yang belum merata menjadi tugas dari berbagai pihak untuk bekerja sama demi menyelamatkan manusia dari pandemi Covid-19.

Untuk memaksimalkan pemerataan pembagian vaksin, kerjasama antar negara, baik dalam ranah bilateral maupun multilateral, terkait vaksin, perlu ditingkatkan. Bentuk kerjasama yang bisa digali pun beragam, seperti memberikan bantuan dana untuk penyediaan vaksin, perbaikan sistem distribusi vaksin hingga kerjasama dalam bidang riset dan ilmu pengetahuan agar negara yang memiliki stok vaksin yang terbatas dapat mengembangkan vaksinasi secara mandiri.

Penulis merupakan mahasiswa Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatulah Jakarta angkatan 2018