15 Provinsi Tanpa Ada Keterwakilan Perempuan, Seleksi Bawaslu Provinsi Dinilai Gagal

Ilustrasi/net
Ilustrasi/net

Keterwakilan 30 persen perempuan pada hasil seleksi anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi yang tidak terpenuhi dinilai sebagai kegagalan Bawaslu RI dalam mengimplementasikan amanat UU 7/2017 tentang Pemilu.


Penilaian tersebut datang dari Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) berdasarkan hasil pemantauan proses seleksi Anggota Bawaslu Provinsi yang berlangsung sejak Juli 2022.

Direktur Eksekutif Puskapol UI Hurriyah menjelaskan, dari total 75 orang anggota Bawaslu Provinsi yang terpilih di 25 provinsi, hanya terdapat 11 perempuan atau sebesar 14,67 persen.

"Poskapol UI melihat tidak adanya komitmen dan keseriusan Bawaslu RI untuk menerapkan kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan," ujar Hurriyah dalam keterangan tetulisnya dikutip Kantor Berita RMOL Sumut, Kamis (22/9).

Dari jumlah tersebut, dijabarkan Hurriyah, hanya terdapat satu Bawaslu Provinsi yang memiliki dua perempuan terpilih sebagai anggota, yakni Kepulauan Riau.

"Adapun sembilan Bawaslu provinsi lainnya hanya memiliki satu perempuan terpilih, yakni Jambi, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku Utara, dan Papua Barat," ucapnya memaparkan.

Sementara di 15 Bawaslu Provinsi lainnya, lanjut Hurriyah, tidak ada keterwakilan perempuan sama sekali.

Kelima belas provinsi tersebut adalah Sumatra Barat, Riau, Sumatra Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Banten, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Maluku.

"Puskapol UI sangat menyesalkan sikap Bawaslu RI yang tidak mematuhi amanat UU Pemilu 7/2017 dan Perbawaslu 8/2019 tentang afirmasi keterwakilan perempuan minimal 30 persen," katanya.

Menurut Hurriyah, komitmen Bawaslu RI terhadap keterwakilan perempuan sangat krusial guna mengubah kondisi rendahnya keterwakilan perempuan di Bawaslu provinsi dan kabupaten/kota.

Apalagi dia melihat, proses seleksi Bawaslu provinsi dan kabupaten/kota merupakan kewenangan Bawaslu RI dan tidak melibatkan proses politik sebagaimana mekanisme seleksi penyelenggara pemilu di tingkat nasional.

"Selain itu, masyarakat sipil juga telah melakukan banyak dorongan kepada Bawaslu RI untuk mengimplementasikan kebijakan afirmasi," ujarnya.

"Namun, kepemimpinan Bawaslu RI saat ini ternyata gagal menunjukkan komitmen serius terhadap pemenuhan keterwakilan perempuan," demikian Hurriyah.